Minggu, 28 Februari 2010

ushul fiqh/ dzohir n nash

ZHAHIR dan NASH


A. Zhair
Zhohir Secara etimologi berarti jelas, kemudian Al-Bazdawi memberikan definisi sebagi berikut
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته
Sesuatu nama bagi seluruih perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
Sedangkan menurut oleh Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تامل
Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Atas dasar definisi-definisi tersebut, Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
اللفظ الدي يدل عليها معناه من غير توقوف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتاويل وقبول النسخ
Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumysan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan disini antara lain:
واحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.
Kedudukan lafadz Zhahir itu wajib diamalkannya semua petunjuk lafadz itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.
B. Nash
Menutut bahas nash adalah rof’u assyari’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara’ adalah:
Menurut Addabusi:
الزائد على الظاهر بيانا ادا قوبل به
Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz zhahir.
ما از داد وضوحا على الظاهر بمعنى المتكلم لا فى نفس الصيغة
Lafadz yang lebih jelas maknanya daripada makna Zhahir yang diambil dari si pembicarannya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.
Dari definisi-defisni tersebut dapat disimpiulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui dengan qorinah.
Atas dasar tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud Nash adalah:
اللفظ الدى يدل على الحكم الدى سيق ﻷجله الكلام دلالة واضحة تحتمل التخصيص والتاويل ﺇحتمالا اضعف من ﺇحتمال الظاهر مع قبول النسخ فى عهد الرسالة
Lafaz yang menunjukan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafadz Zhahir. Selain itu ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman rosul).
Sebagai contoh ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafadz Zhahir.
واحل الله البيع وحرم الربا
Dilalah Nash dari ayat diatas adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertian diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini Nash lebih memberi kejelasan Zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Adapun Kedudukan (hukum) lafadz nash sama dengan lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, menasakh atau mentakhsisnya. Perbedaan antara Dzahir dan Nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh adalah pada lafadz nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafadz zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara lafadz zhahir dan lafaz Nash, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakaianya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafadz nash.
C. Zhahir Vs Nash
Misalnya tentang halalnya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlah yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja.
Taruhlah disitu firman Allah: Annisa’ 24
 •  •         …
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…”
Bertentangan dengan Annisa’ Ayat 3
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang sajaatau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat pertama menunjukan halalnya menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi jumlahnya. Dilalah tersebut termasuk dzohir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki boleh mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat yang kedua termasuk dilalah nash. Ayat kedua ini menunjukan halalnya menikahi wanita itu dibatasi empat, sehingga menikahi wanita lebih dari empat adalah haram.
Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua, ayat yang pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat. Dalam hal ini. Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash itu lebih kuat dari dilalah zhahir.

Wallahu A’lamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar