POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF REALITAS SOSIAL[1]
Oleh: Dr. Zacky Mubarok, S.Hi & Prof. Dr. Bagus Yoga, Lc. M.Ag. M.Hum.
Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. kami tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi kami, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri. Sedari awal kami ingin menekankan bahwa kami menulis makalah ini bukan dalam rangka menolak hukum atau ajaran Islam tentang poligami. Yang kami tolak adalah praktek poligami itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak fakta dan kasus yang akhirnya ia sendiri punya kesimpulan kalau poligami itu bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan keluarga tapi malah menghancurkan institusi keluarga khususnya perempuan dan anak. Meski penulis mengakui pada kasus-kasus tertentu seperti menolong janda dan anak korban konflik, poligami tetaplah menjadi solusi. Tapi kenyataannya sangat jarang suami yang berpoligami karena alasan tersebut. Mayoritas berpoligami karena perempuan yang akan dijadikan istri selanjutnya itu lebih muda, lebih menarik, lebih pintar dan lebih segalanya dibanding istri terdahulunya. Karena itulah penulis menyarankan agar suami membahagiakan dan memaksimalkan diri dengan satu istri..
Seperti diketahui, biasanya para pelaku poligami membenarkan perbuatannya tersebut pada dua hal: Al-Quran surat Al-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami sampai empat dan mengikuti Sunnah Nabi. Padahal, bila kita melihat kehidupan keluarga Nabi secara cermat, sesungguhnya Nabi itu melakukan monogami. Karena dalam kurun waktu kehidupan rumah tangga Nabi, Nabi itu sangat monogami. Kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah itu berlangsung 25 tahun, sementara Nabi mempraktekan poligami itu hanya 10 tahun. Itu pun setelah Khadijah wafat dan kebanyakan pernikahannya itu lebih dikarenakan menolong janda-janda sahabat beliau yang meninggal akibat perang untuk membela Islam[2].
Dan sebenarnya turunnya ayat poligami itu berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun 625 M. Saat itu, banyak sekali prajurit muslim yang gugur di medan tempur dan mereka meninggalkan anak-anak yatim beserta istrinya. Saat itu, masyarakat Islam masih sangat terbatas, dan turunnya ayat poligami tampaknya didasarkan pada dua hal. Pertama, untuk menjaga keutuhan masyarakat Islam yang secara kuantitas masih sangat sedikit. Kedua, agar mereka yang akan bertindak sebagai pengayom anak-anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku lebih adil.
Untuk masa itu, poligami mungkin merupakan bagian dari solusi yang tepat karena struktur masyarakatnya masih berwatak sangat patriarki. Bahkan, di masa itu sistem perbudakan pun masih diperbolehkan, walau pelan-pelan mau dihapuskan. Tapi itu kan latar sejarah tahun 625. Sekarang kita sudah di tahun 2010; masak masih harus melestarikan praktek-praktek yang sudah tidak cukup sopan untuk konteks kekinian?! Kita tahu, sistem perbudakan dulu dianggap boleh, tapi sekarang sudah dianggap tidak sopan dan melanggar hak asasi manusia. Poligami, saya kira harusnya juga begitu.
Sementara ayat Al-Quran yang menjadi acuan poligami itu pun titik tekannya pada sikap suami yang bisa berlaku adil, bukan pada bolehnya praktek poligami tersebut. Sikap adil susah sekali ukurannya karena sangat melibatkan perasaan, tidak hanya kepuasan materi dan seksual semata. Anugerah perasaan inilah yang merupakan salah satu kelebihan manusia. Seperti yang diulas dengan bagus oleh Bintu Syathi Aisyah Abdurrahman dalam bukunya Istri-istri Nabi, kehidupan istri-istri Nabi saja tak sepenuhnya harmonis, malah cenderung penuh intrik dan saling cemburu karena mereka saling bersaing untuk memperebutkan perhatian Nabi. Untuk sekualitas lelaki seperti Nabi saja, yang banyak diberi kelebihan oleh Allah, Beliau cukup kerepotan mengelola perasaan dan menghadapi isteri-isterinya. Apalagi untuk manusia biasa seperti kita semua. Karena itu menurut kami, kita ini bukan Nabi, isteri kita pun bukan Aisyah. Makanya jangan coba-coba berpoligami.
kemudian Sebetulnya sebagian besar masyarakat
Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Maret 2006, tentang poligami.
Umum | Laki-Laki | Perempuan | |
Sangat Setuju | 1,2 % | 1,6 % | 0,7 % |
Setuju | 32,5 % | 45,9 % | 18,8 % |
Abstain | 6,3 % | 8,4 % | 4,1 % |
Tidak Setuju | 53 % | 40 % | 65,9 % |
Sangat Tidak Setuju | 4,4 % | 00,7 % | 8,2 % |
Data diatas jelas menunjukan bahwa masyarakat Indonesia kini semakin faham dan peduli kepada perempuan, yaitu yang sehrusnya perempuan itu dikasihi dan disayangi dengan baik dan sepenuh hati, tidak untuk dikecewakan atau disakiti dengan menduakan hatinya. Dan Kami ingin mengatakan kalau orang sangat berhasrat untuk melakukan poligami, sebaiknya jangan bawa-bawa soal agama. Katakan saja bahwa ini adalah soal syahwat, bukan soal agama. Tokoh-tokoh kita kadang-kadang sering berkamuflase dalam soal yang satu ini.
praktek poligami masa sekarang lebih didorong setidaknya oleh empat motivasi. Pertama, untuk mewadahi keserakahan seksual. Kedua, para lelaki yang tertarik poligami ingin tetap dianggap menarik secara seksual. Ketiga, untuk mencari kesenangan lain karena sudah bosan dalam hubungan suami-istri yang sebelumnya. Dan keempat, laki-laki ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan menarik. Jadi, jarang sekali yang punya motivasi untuk benar-benar menopang yang lemah dan menegakkan keadilan. Padahal, muaranya sebetulnya harus ke situ.
Nah, 4 hal itu umumnya terlihat jelas dari para pria yang berpoligami. Itulah yang menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan pemikir Islam kontemporer. Dunia Islam cenderung lemah di dalam percaturan global, salah satunya karena rapuhnya unit-unit keluarga akibat praktek poligami.
Padahal itu sangat menyakitkan bagi kaum perempuan, terutama istri dan ibu-ibu. Tak jarang terjadi kenyataan bahwa bangunan rumah tangga yang sudah dibina bertahun-tahun dalam ikatakan suami-istri, diterpa prahara setelah sang suami merasa kaya dan populer, saat ia kembali terpikat dengan perempuan lain. Itu sangat menyakitkan bagi kebanyakan istri.
Dan kami kira, ajaran agama manapun tidak pantas membenarkan seorang istri disakiti sedemikian rupa, apalagi Islam sebagaimana yang kita yakini. Islam tidak pernah membenarkan laki-laki menyakiti istrinya. Bahkan ada sebuah ayat Al-Qur’an yang menegaskan agar laki-laki selalu memperlakukan istrinya dengan santun. Wa`âsyirûhunna bil ma`rûf (perlakukanlah istri-istrimu dengan cara yang santun, Red), kata Al-Qur’an. Jadi Al-Qur’an sendiri mengamanatkan kaum pria agar memperlakukan istrinya dengan santun, baik, ramah, sembari menghargai kemanusiaannya.
Di tengah komunitas yang menjadikan poligami sebagai praktek yang lazim, maka disini penulis ingin menanggapi Dengan memarodikan lagu Aa Gym:
Jagalah istri, jangan kau sakiti Sayangi istri, amanah ilahi Bila diri kian bersih, satu isteri terasa lebih Bila bisa jaga diri, tidak perlu menikah lagi
Bila suami berpoligami Dakwah akan terbebani Demarketing menjadi jadi Dakwah bisa dibenci
Jagalah istri, jangan khianati Jagalah diri, tak perlu poligami
Daftar Pustaka
Poligami Rapuhkan Unit-Unit Keluarga, Neng Dara Affiah, www.islamlib.com, diakses 6 januari 2010.
Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas, Ulil Abshar-Abdalla
CahyaTakariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri (Jakarta: Era Intermedia, 2007).
M. Abul fadl, Atas Nama Tuhan ( Jakarta:PT Serambi Ilmu Setia, 2004)
gaul brow
BalasHapus