Kamis, 18 Februari 2010

hukum acara perdata

PENDAHULUAN

Suatu perkara perdata diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dngan putusan , kana tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalanya. Putusan trsebut harus bias dilaksankan atau dijalankan, oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu scara paksa oleh alat-alat Negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada hakim adalah adalah kepala putusan yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

EKSEKUSI

A. Pengertian Eksekusi

Eksekusi berasal dari kata “execuite”, artinya melaksanakan putusan hakim. Yang dimaksud eksekusi ialah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankanputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.[1]

Dalam pengertian yang lain; eksekusi putusan perdata berarta melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak yang tereksekusi tidak bias melaksanakan dengan suka rela.

Denagan pengertian diatas, pada prinsipnya ekskusi merupakan realisasi kewajiban pihak yang dikalahkan dalam putusan hakim , untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan hakim. Dengan kata llain eksekusi terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hokum tetap (BHT) merupakan proses terakir dalam proses perkara perdata maupun pidana di pengadilan.

Eksekusi, terutama dalam perkara perdata merupakan proses yang cukup melelahkanpihak-pihak berperkara, selain menyita waktu, energy, baiaya, tenaga juga pikiran. Ia belum bermakna apa-apa bila hasilnya sebatas keputusan hitam diatas putih saja (BHT). Kemenangan didepan mata kadang masih memerlukan proses panjang untuk mendapatkanya secara konkrit/nyata. Hal ini terjadi karena dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi tidak jarang menemui banyak kendala. Terutama dari pihak yang kalah umumnya sulit menerima kekalahan dan cenderung menolak putusan yang sudah berkekuatan hokum tetap sekalipun. Dengan bermacam cara sehingga kadang ketua pengadilan harus turun tangan untuk memperlancar jalannya eksekusi.

Putusan yang telah berkekuatan huum tetap dapat dimintakan ekskusi oleh pihak yang menang, dengan catatn apabila pihak yang kalah tidak dengan suka rela mau melaksanakan amar putusan yang besangkutan. Sedang yang dapat dimintakan eksekusi dalah hanya putusan yang amarnya menghukum (condemnatoir), sementara puutusan decaltoir dan konsitutif tidak dengan dimintakan eksekusi.

Adapun keputusan yang mempunyai hokum tetap tersebut dapat berupa:

1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan banding/kasasi karena telah diterima oleh kedua belah fihak;

2) Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak dimintakan kasasi ke mahkamah agung.

3) Putusan MA atau putusan PK.

4) Putusan verstek dan pengadilan tingkat pertama yang tidak di verzet.

5) Putusan hasil perdamaian dari semua pihak yang berperkara.[1]

B. Dasar Hukum

Eksekusi sebagai tindakan hokum yang dilakukan terhadap pihakyang kalah dalam suatu perkara, tat caanya diatur dalam dalam hokum acara perdata, yaitu pasal 195-208 HIR, 224 HIR, atau pasal 206-240 dan pasal 258 R.Bg. sedangkan pasal 225 HIR/259 R. Bg mengatur tentang putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk melakuakan suatu perbuatan ertentu.

Dalam pasal 195 HIR disebutkan, bahwa dalam menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri, dilakukan atas perintah dan mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal 195 HIR ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7..

Selain itu eksekusi juga diatur dalam pasal 1033 RV dan pasal 33 ayat 3 dan UU 4 no. 14 tahun 1970. Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 dan 4 UU no 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman disebutkan; ayat 3 “pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh ketua pengadilan.” Ayat 4 “dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara”

Sedangkan eksekusi pengeculian terhadap putusan yang belum berkekustan hokum tetap yaitu putusan serta merta dan provisi, diatur dalam pasal 80 ayat 1 HIR/ pasal 191 ayat 1 R.Bg.[2]

C. Asas-Asas Eksekusi

Dalam eksekusi dikenal lima macam asas yaitu:

1) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap.

2) Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat menghuum (condemnatoir)

3) Putusan tidak dijalankan secar suka rela.

4) Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan.

5) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

D. Jenis-jenis eksekusi dan pelaksanaanya

Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hokum yang tercantum dalam putusan pengadilan ada tiga macam bentuk eksekusi, yaitu eksekisi riil, eksekusi pembayaran sejumlah uang dan eksekusi untuk melakuakan seuatu perbuatan.

1) Eksekusi riil

Penghukuman pihak yang kalah untuk melakuakn suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran. Penghentian suatu perbuatan tertentu dll. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihakyang dimenangkan.

Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan Agama dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuniyang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku pemohon eksekusi.

2) Eksekusi pembayaran sejumlah uang. Prestasi diwajibkan adalh membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur pasal 196 HIR (ps. 208 Rbg) tata caranya adalah terlebih dahulu adanya aanmaning (peringatan), penetapan eksekusi, perintah penjualan lelang, penjualan lelang (setelah dilakukan pengumuman sesaui ketentuan yang berlaku) dan terakhir penyerahan uang hasil lelang.

Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan . hal ini diatur dalam dalam pasam 225 HIR (ps. 259 Rbg) orang tidak bias dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang diperolehnya dinilai dengan uang.[3] Dan pelaksanannya diawali dengan permohonan agar putusan tersebut dinilai denagn uang kemudian tereksekusi dipanggil/diaamning selanjutnya ketua pengadilan menetapkan jumlah uang sebagai penganti putusan yang bersangkutan.

D. Tatacara Sita Eksekusi

1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan Berdasar surat perintah Ketua Pengadilan Agama surat perintah ini dikeluarkan apabila:

-Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah,
-Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan

2. Dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita

3. Pelaksanaan sita eksekusi dibantu oleh dua orang saksi

Keharusan adanya dua orang saksi adalah syarat sah sita eksekusi

- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu dan sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam Berita Acara Sita Eksekusi

PENUTUP

Eksekusi, terutama dalam perkara perdata merupakan proses yang cukup melelahkanpihak-pihak berperkara, selain menyita waktu, energy, baiaya, tenaga juga pikiran. Ia belum bermakna apa-apa bila hasilnya sebatas keputusan hitam diatas putih saja (BHT). Kemenangan didepan mata kadang masih memerlukan proses panjang untuk mendapatkanya secara konkrit/nyata. Hal ini terjadi karena dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi tidak jarang menemui banyak kendala. Terutama dari pihak yang kalah umumnya sulit menerima kekalahan dan cenderung menolak putusan yang sudah berkekuatan hokum tetap sekalipun. Dengan bermacam cara sehingga kadang ketua pengadilan harus turun tangan untuk memperlancar jalannya eksekusi.

Putusan yang telah berkekuatan huum tetap dapat dimintakan ekskusi oleh pihak yang menang, dengan catatn apabila pihak yang kalah tidak dengan suka rela mau melaksanakan amar putusan yang besangkutan. Sedang yang dapat dimintakan eksekusi dalah hanya putusan yang amarnya menghukum (condemnatoir), sementara puutusan decaltoir dan konsitutif tidak dengan dimintakan eksekusi.



[1] Yahya harahap, ruang lingkup permaslahn eksekusi bidang perdata (Jakarta: Gramedia, 1989), 4.



[1] Mahkamah Agung, Sekitar Acara Dan Hukum Perdata Agama, 2005, hlm, 60

[2] Ibid, 62.

[3] Sudikno mertokusumo, hokum acara perdata di Indonesia (Yogyakarta: liberty, 1993), 209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar